- Diskriminasi kasar—aksi negatif terhadap objek prasangka rasial, etnis, atau agama—dan kriminalitas berdasarkan kebencian (hate crimes)—kriminalitass yang berdasar pada prasangka rasial, etnis, dan tipe prasangka lainnya. Contoh: James Byrd seorang lelaki afro-amerika yang diseret dibelakang truk hingga meninggal oleh seorang laki-laki berkulit putih dengan prasangka tinggi.
- Diskriminasi halus: rasisme modern (rasial implicit)—rasisme berusaha menutup-nutupi prasangka di tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan—dan tokenisme—contoh di mana individu menunjukkan tingkah laku positif yang menipu terhadap anggota kelompok out-group kepada siapa mereka merasakan prasangka yang kuat. Kemudian tingkah laku tokenistic ini digunakan sebagai alasan untuk menolak melakukan aksi yang lebih menguntungkan terhadap kelompok ini. Contoh: sebuah bank yang mempekerjakan orang dari etnis tertentu, supaya tidak disangka melakukan diskriminasi juga mempekerjakan masyarakat pribumi. Namun, masyarakat pribumi ini nantinya akan dipersulit untuk kenaikan jabatan.
Wanita dan Diskriminasi di Dunia Kerja
DUNIA KERJA
ternyata mampu menciptakan hukum kebiasaan yang bahkan lebih kuat dan mengikat
daripada perundangan tertulis. Beberapa kebiasaan yang diskriminatif telah
berlansung lama dan mengakar di dunia kerja sehingga dipandang suatu hal yang
lumrah.
Hukum yang berlaku universal, bahwa semua orang berkedudukan
setara di muka hukum dan berhak atas perlindungan yang sama tanpa diskriminasi
apapun (equality before the law) adalah
jargon idealitas, semacam das sollen, karena bagaimana hukum
dipraktikan sehari-hari dalam kenyataannya merupakan hal yang lain lagi (das sein). Tidak main-main, konsep
idealitas das sollen ini tidak hanya diformulasikan dalam
konstitusi RI (UUD 1945), tetapi juga tercantum dalam Piagam PBB tentang Hak
Asasi Manusia.
Bentuk diskriminasi
Bentuk-bentuk diskriminasi bagi wanita dalam hubungan kerja
atau hubungan industrial sangat luas sekali lingkup spektrumnya, sejak
seseorang belum bekerja sampai purna kerja (M Syaufii Syamsuddin, 2004: 89-96).
Perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan dapat terjadi sejak
mulai penerimaan (recrutment), berupa
pengumuman penerimaan kerja atau lowongan kerja, seperti mencari tenaga kerja
wanita yang belum menikah, siap tidak menikah selama dalam kontrak atau pada
waktu tertentu, penampilan menarik (baca: berparas aduhai dan bertubuh bohay), dan
sebagainya.
Sangat umum wanita berparas cantik menempati posisi-posisi
seperti teller bank, customer service, pront office, pramugari, penyiar TV,
atau salles promotion girl (SPG). Sulit dibayangkan bahwa sekalipun cerdas,
enerjik, kreatif, penuh inisiatif, dan berhati mulia bijak bestari, tetapi
kalau tidak cantik, maka sukar dapat menempati posisi-posisi tersebut. Inilah
yang dinamakan hukum kebiasaan dalam dunia kerja. Sebab tidak ada perundangan
tertulis di negara ini atau di negara manapun yang mengharuskan demikian. Dunia
kerja (pemberi kerja) telah membangun menara kokoh berupa “asumsi” bahwa
terdapat hubungan yang berarti (signifikan) antara paras yang menawan dengan
kinerja dan kepuasan konsumen atau pelanggan.
Bentuk-bentuk diskriminatif yang dialami wanita (calon)
pekerja di atas sebenarnya merupakan wujud lain dari eksploitasi terhadap
wanita. Bahwa nilai kerja seorang wanita adalah pada penampilan (tubuh) bukan
pada kinerja. Dan ada pula unsur pelanggaran kodrati yang diberikan Tuhan
(pelanggaran HAM), mana kala pemberi kerja mensyaratkan keharusan bersedia
tidak menikah atau keharusan bersedia tidak hamil selama dalam waktu tertentu.
Idealnya, yang dibutuhkan di dalam suatu hubungan kerja adalah keterampilan dan
dedikasinya, bukan jenis kelamin dan kecantikannya.
Setelah diterima bekerja, wanita kembali rentan dengan
diskriminasi. Contoh perlakukan diskriminatif tetapi sangat terselubung seperti
dalam hal kesempatan menduduki jabatan antara pekerja laki-laki dan wanita.
Diskriminasi yang lebih gamblang seperti adanya larangan suami-istri tidak
boleh bekerja di dalam satu perusahaan dengan alasan atau kriteria yang tidak
jelas; sulitnya wanita menerima cuti haid, cuti hamil, dan pembayaran upah
dalam waktu cuti hamil/cuti haid yang terkadang bermasalah, atau bermasalahnya
pemberian bantuan persalinan dan upah selama persalinan dan saat cuti
persalinan (selama dua bulan).
Bentuk diskriminasi juga kerap dialami wanita dalam hal
penggajian. Hal yang lumrah dalam dunia kerja, gaji wanita lebih rendah
daripada gaji pria, sekalipun wanita tersebut berkedudukan sebagai kepala
keluarga—entah karena suami tidak bekerja, menjadi janda, atau semua anggota
keluarga menganggur kecuali ia. Dapat juga disebut diskriminasi apabila
penggajian kepada wanita yang telah menikah disamakan dengan wanita lajang;
sementara pekerja pria yang menikah tidak diperlakukan seperti pria lajang.
Perlakukan diskriminasi yang berbau rasialis juga bisa
terjadi di dunia kerja. Misalnya, pemberian “amplop” disamping slip resmi gaji
yang diberikan kepada etnis atau warna kulit tertentu (sesuai dengan etnis atau
warna kulit pemilik atau pimpinan perusahaan).
Dalam proses berakhir atau setelah selesai berada dalam
hubungan kerja, wanita juga lazim mendapatkan diskriminasi. Contoh lazim
diantaranya perbedaan usia pensiun bagi wanita dan pria, atau pencantuman
klausula dalam perjanjian kerja dimana akan di-PHK apabila pekerja wanita
menikah, hamil atau bersalin.
Dalam konteks di atas, perjanjian kerja dijadikan alat agar
diskriminasi menjadi legal, semacam pintu masuk diskriminasi bagi wanita di
dunia kerja. Sebagai pencari kerja, wanita cenderung sangat sedikit mempunyai
pilihan. Sebab, perjanjian kerja telah terlebih dahulu disiapkan atau dibakukan
bentuknya oleh pihak pemberi kerja (standard contract).
Pilihannya cuma menerima klausula perjanjian atau tidak mendapatkan pekerjaan (take it or leave it).
Pengaturan
Di level pemberi kerja, kita hanya bisa berharap adanya niat
baik berupa pemberian kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan,
jabatan, promosi, dan pelatihan. Karena itu sangat ditunggu peran aktif dari
serikat pekerja membuat rumusan-rumusan untuk dirundingkan pada pihak
perusahaan agar pengaturan syarat-syarat kerja dalam peraturan perusahaan (PP)
dan perjanjian kerja bersama (PKB) menjadi lebih adil dan tidak bias jender.
Pada level pembuat kebijakan umum, mekanisme politik sangat
berperan untuk menghapuskan atau setidaknya meminimalisir praktik diskriminasi
di dunia kerja. Melalui keputusan politik antara eksekutif dan legislatif dapat
diformulasikan berbagai perundangan yang melindungi wanita. Dan melalui
keputusan politik pula, para otoritas politik dapat meratifikasi berbagai
konvensi internasional yang menghapuskan bias jender dalam dunia kerja.
Sampai saat ini, Indonesia sebenarnya sudah memiliki satu
bundel besar perundangan yang melindungi wanita. Persoalannya justru pada
pelaksanaannya (implementasi) di lapangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar